Chapter 1
Hujan begitu deras sore ini. Istriku, wanita sederhana yang kunikahi 3 tahun yang lalu nampak asyik menekuni kegemarannya mengisi TTS. Ah, mengapa setiap memandang wajah sederhananya selalu terbersit perasaan bersalah? Mengapa tidak bisa kuberikan seluruh cintaku padanya? Hujan memang bangsat. Setiap titik airnya selalu menggoreskan rinduku padanya. Istriku? Bukan, Neva. Wanita yang selama sepuluh tahun ini dengan setia mengisi satu pojok hatiku. Wanita yang selalu membuatku merasa bersalah pada istriku.
Perkenalan pertamaku dengannya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu aku harus mengikuti KKN dari universitas paling ternama di Yogyakarta. Pertama kali kenal, aku tidak peduli karena waktu itu aku baru putus dari pacarku. Bayangkan saja 4 tahun aku pacaran dan dia memutuskanku begitu saja. Neva bertubuh sedang, rambut dipotong pendek ala Demi Moore, wajahnya lumayan manis. Tapi yang paling menarik adalah sinar matanya yang hangat, tulus , bersahabat dan selalu tertawa. Seminggu orientasi aku masih tidak begitu peduli bahkan sering terganggu dengan gaya ketawanya yang begitu spontan. Kebetulan kami satu regu.
"Mas.. mau kopi?" sapaan istriku membuyarkan lamunanku ttg Neva. Dengan cepat aku mengangguk. Entah mengapa aku kesal karena lamunanku terhenti.
"Aduh... Yok... bagus ya desanya... Uih... kayak negeri para dewa," Neva spontan berkomentar saat kami tiba di desa yang terletak di lereng Merbabu. Hm.. bener juga gumanku. Tempat regu kami tinggal adalah rumah kosong di pinggiran hutan karet. Tiap pagi embun turun dan menari di sela-sela hutan karet itu dimana sinar matahari dengan lembut menyeruak di antaranya. Dan setiap bangun pagi, aku selalu dikejutkan senyum Neva sambil menyeruput kopinya (entah jam berapa dia bangun pagi).
"Pagi.. Yok! uh... tadi bagus deh..." dan berceritalah dia tentang kegiatan jalan-jalan paginya.
Entah, akhirnya setiap pagi kami selalu bercerita tentang bayak hal sambil menikmati kopi. Baru kusadari wanita ini di samping begitu mandiri dia juga cerdas luar biasa. Dia bisa bercerita mulai dari Nitsche, harga saham, Picasso, Pink Flyoid sampai kemiskinan. Yang luar biasa dia ternyata pernah mendapat beasiswa pertukaran pelajar, pinter main piano dan bekerja part time (meski dia berasal dari keluarga yang cukup berada). Aku semakin suka berada di sampingnya.
Di mataku kecerdasannya membuat dia begitu menarik, cantik dan seksi. Hingga suatu malam saat kami ngobrol berdua saja di teras dia mengejutkanku dengan pernyataannya, " Yok... aku ini sudah nggak perawan." Aku begitu terkejut, bagi orang sepertiku yang dididik sejak kecil bahwa seorang wanita harus menyembunyikan emosinya, pernyataan seperti ini begitu mengguncang emosiku
"Ya... Tuhan... wanita seperti ini yang aku cari..." seruku dalam hati. Betapa jujurnya dia.
Dia bercerita tentang rasa cintanya yang begitu besar pada pacarnya, kesedihannya karena pacarnya tak pernah memintanya menjadi istrinya meski mereka telah pacaran hampir 6 tahun. Tanpa kutahu pasti, aku telah jatuh cinta padanya dan yang menyedihkan aku tidak berani menyatakannya. Aku nikmati saja hari-hari KKN ku. Kami main air di sungai, jalan-jalan. Setiap pacarnya datang, kutekan rasa cemburuku dan sakitku bahkan aku dengan gaya yang sok berbesar hati sering mengantarnya ke terminal untuk pulang menengok pacarnya. Setiap kali sehabis pulang, dengan gaya lucunya dia bercerita tentang persetubuhannya dengan pacarnya. Neva... tahukah kau aku mencintaimu?
Sampai suatu hari, aku dan dia pergi ke kota asalku Solo untuk mencari sponsor bagi pasar murah yang akan kami selenggarakan. Tanpa terasa kami kemalaman.
"Nev... kita nginap di rumah ibuku yuk?"
Sungguh! Waktu itu aku tidak punya pikiran apapun. Dan seperti yang sudah kuduga, keluargakupun sangat menyukainya. Bahkan ibuku bilang, "Dia lain ya sama Rini? Anaknya ramah dan baik". Ah.. betapa inginnya aku bilang, "Dia wanita yang kuinginkan jadi istriku, bu".
"Yok... aku tidur dimana?" tanya Neva.
"Dikamarnya Iyok aja, nak. Itu di kamar depan." ibuku begitu bersemangat menata kamarku.
"Wah... ntar Iyok tidur dimana?"
"Biar tidur di sofa ruang tamu".
Rumah ku memang agak aneh, hampir seluruh kamarnya ada di belakang, hanya kamarku yang terletak di depan.
Malam itu aku gelisah tak dapat tidur. Entah mengapa aku begitu rindu pada Neva. Gila! Padahal seharian tadi aku bersamanya. Seperti ada yang menggerakkan aku pergi ke kamarku di mana Neva tidur dengan memakai daster ibuku!. Nampak tidurnya begitu damai. Ya... ampun baru kusadari betapa besar cintaku padanya. Tanpa terasa aku belai pipinya dengan lembut. Dia menggeliat. Oh.. sungguh seksi sekali.
Tiba-tiba saja tanpa dapat kubendung kucium bibirnya dengan kelembutan yang tak pernah kuberikan dengan pacarku dahulu. Neva membuka matanya, dan baru kusadari betapa indah mata itu.
"Yok?"
Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Kembali kukulum bibirnya, diapun menyambut dengan hangat ciumanku. Lidahnya bermain begitu luar biasa di lidahku. Tanpa terasa sesuatu yang keras menyembul dari balik celanaku. Kuciumi dengan hangat lehernya, dia menggelinjang geli. Dibalasnya ciumanku dengan ciuman lembut di leherku, turun ke dadaku. Lalu dengan gerakan yang begitu lembut, dilepasnya kaosku. Kubalas ciumannya dengan ciuman di dadanya. Ya... ampun... dia tidak memakai bra. Terasa putingnya mengeras dan dadanya begitu kencang. Tanganku masuk dari bawah dasternya. Ugh... dadanya begitu penuh. Gelinjangannya begitu mempesona. Dia begitu meenikmati sentuhanku. Tiba-tiba dia menggerang, " Don... ah...". Bagai tersengat listrik, kulepaskan cumbuanku. Ada rasa nyeri menyeruak di dalam dadaku. Dia menyebut nama pacarnya! Neva pun tersadar.
"Yok... maaf..." segera diambilnya kaosku.
"Pergilah... maaf... aku... aku... kangen sama Don". Diapun menundukan kepalanya. Mungkin orang menanggapku gila karena keterusterangannya justru membangkitkan gairahku. Entah aku begitu yakin akan perasanku padanya, rasa cintaku dan aku ingin dia memilikiku. Akan kuberikan keperjakaanku padanya. Ya... aku masih perjaka! Meski aku pacaran serius selama 4 tahun dengan Rini, aku adalah laki-laki yang begitu menghargai keperjakaan. Bahkan aku pernah bersumpah hanya kepada istriku akan kuberikan keperjakaanku. Seperti ada kekuatan gaib tiba-tiba aku bertanya.
"Nev... maukah kamu mengambil keperjakaanku?"
"Tapi... Yok?"
"Aku tidak peduli Nev... aku mencintaimu... aku ingin kamu yang mengambilnya... aku ingin kamu menjadi istriku" sambil kugenggam tangannya. Ada buliran air mengalir dari mata bulatnya. Neva hanya terdiam, dan dengan lembut diambilnya tanganku dan dibawanya ke dadanya.
"Kamu begitu tulus...Yok...". Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia mencium bibirku, pertama lembut sekali tapi makin lama makin liar, dibaringkannya tubuhku di tempat tidur. Lidahnya menjilati belakang telingaku, turun.. keputingku... ke tanganku... lalu turun ke ibu jari kakiku.. ke.. atas... ke paha... ya ampun! Aku belum pernah melakukan ini. Dulu dengan Rini aku hanya melakukan sebatas `pas foto', itupun dengan baju yang terpakai. Tiba-tiba gigitan kecil dikelelakianku membuatku tersentak, dengan giginya, dibukanya celana pendekku, lalu celana dalamku. Ya.. aku telanjang bulat di hadapannya. Lalu dengan gerakan lembut dia membuka dasternya, lalu celana dalamnya. Aku masih dalam posisi terlentang.
Antara bingung dan gejolak yang luar biasa. Dengan senyum manisnya, Neva menjulurkan lidahnya ke arah lelakianku. Dimainkannya ujung lidahnya di pangkal kelelakianku. Aaggh... ya Tuhan... inikah Surga-Mu? Aku tak mampu berkata apa2 saat mulutnya mengulum kelelakianku sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya.. Aku hampir saja tak kuat menahan lava di dalam kelelakianku. Tapi di saat aku hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal kelelakianku itu. Ajaib, lava itu tak jadi keluar meski tetap bergejolak.
Demikianlah... hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia berkata... "Yok... aku ingin memberimu hadiah yang tak kan kamu lupakan". Dia lalu duduk di atasku, tepat di atas kelelakianku.
Diambilnya kelelakianku terus dengan gerakan begitu lembut dimasukkannya ke dalam kewanitaanya. Ugh... ah.. erangannya begitu mempesona. Dan akupun memegang pantat bulatnya. Tapi segera dia berkata" Ssst... I will make you happy Yok!". Terus dengan gerakan memompa dan memutar, kurasakan seluruh darah mengalir ke bawah.
Keringat membasahai seluruh tubuhnya. Sambil berciuman kurasakan dia memompa kewanitaaanya. Lalu dicengeramnaya tubuhku kuat-kuat. Aggh.. agh... seluruh ototnya meregang. Putingnya tegak berdiri dan disorokannya ke mulutku. Lalu dengan keliaran yang tak kubayangkan sebelumnya kulumat habis puting itu sambil membalas pompaannya. "Ah... terus.. Yok.. terus... jangan berhenti" rangannya semakin mebuatku liar. "Lagi... Yok.. lagi... ini ketiga kalinya... ayo Yok..." Dan tanpa dapat kutahan lavaku menyembur. Neva segera menariknya keluar. Lalu dijilatinya cairan lava itu. Kenapa dia tidak jijik? Dengan senyum manisnya seakan dapat membaca pikiranku. "Nggak Yok... aku ingin membuatmu senang". Ya Tuhan, aku sangat terharu mendengarnya. Bagiku dia telah menjadi istriku. Malam itu, kami tiga kali bercinta dan ketiganya Neva yang `memberiku'. Hm... aku berjanji, suatu saat aku akan memberikan `sesuatu' yang sangat hebat...
"Mas... kopinya kan sudah dingin. Kok nggak diminum?" Ah...lagi-lagi sapaan istriku membuyarkan lamunanku. Neva... dimana kamu sekarang (istriku)?
Chapter 2
"Pada sepi yang tiba
Keyakinanku yang rapuh
Kuusik sendiri:
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur
Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau
Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh
perjalananku..."
Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun masih ada di tepinya. Neni istriku tampak sesekali merapatkan pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya nampak terpatah-patah mendaki jalanan yang berbukit. Ah, semoga kami belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yang baik hati itu.
"Kenapa sih mas... motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina juga nggak apa-apa." keluh istriku.
Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara menerangkannya alasanku sesungguhnya
.
"Ha.. ha.. Yok... ini sih sepeda onthel bukan motor" tawa lepas Neva waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu.
"Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?" Aku pura-pura marah. Mendengar nada suaraku yang kelihatan kesal. Mata Neva yang bulat segera membelalak dengan lucunya.
"Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah" Dia gantian memberengut dan mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit. Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tidak bermaksud membuatnya tersinggung. Aku kelabakan
"Ngg... anu. Nev... aku... aku... maaf... tadi... ngg" Aku tidak bisa meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana. Sungguh mengapa aku begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku. Saat aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di pipiku
"Mmuah!" Neva menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil mengecohku. Antara lega, kaget, senang dan malu. Terlebih beberapa penadah karet yang berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu melihat kespontanannya yang tak bosan-bosannya memukauku.
"Nev.. sst.. ntar dilihat orang"
"Ha.. ha... biarin! ha.. ha... gotcha! Takut aku marah ya? He.. he..." Dia masih ketawa geli. Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yang mulai memanjang dan awut-awutan itu dengan penuh kasih.
"Sayang ya?" tanyanya manja (baru kusadar, dia tidak penah menampakkan kemanjaan ini kepada siapapun selama kami KKN. Beginikah dia sama Don? Persetan! Segera kuusir perasaan buruk ini). Kupandang dalam ke mata lucunya. Aku tahu pasti, dia bisa membaca apa yang terukir indah di dalam hatiku.
Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang seolah mengejek motorku yang semakin terseok.
"Nen.. kita berteduh di dangau itu saja" segera kupinggirkan motorku ke dangau di tepi hutan itu. Daun kelapa kering yang menjadi atapnya nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok sebelah kanan masih ada tempat yang kering.
Sebelum kami duduk di bangku bambu yang sudah tampak lusuh dan banyak sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yang menyembul menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.
"Oouch!"
"Yok... aduh... tanganmu berdarah" Neva berteriak dengan kecemasan yang tak dapat disembunyikannya. Segera diambilnya jari telunjukku dan dikulumnya di bibirnya yang tak tersentuh lipstik. Pemandangan di depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah, begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya yang basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan. Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas. Warna hitam dari branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku. Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih yang tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan berganti menjadi kehangatan yang menjalari seluruh ujung kepekaanku. Masih kurasakan kebahagiaan yang kuperoleh beberapa hari yang lalu di rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu....
"Nah... sudah mendingankan?" jariku yang dicabut dari mulutnya membuyarkan kenanganku. Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di rumahku itu, aku merasakan kedekatan yang luar biasa di antar kami. Nevapun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada kekasihnya itu dengan ujung mata yang sesekali mencuri pandang ke diriku. Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban pertanyaan itu dan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku hanya yakin, Neva juga melakukannya dengan hatinya.
"Hey.. jangan melamun dong, Mas!" sapaan istriku lembut tapi kurasakan ada kejengkelan di dalamnya.
"Nggak... cuma hujan kayak gini pasti lama... kita terjebak di sini nih!" sambil kupeluk istriku.
Ada rasa syukur yang besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi angin besar. Neva merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan gigilan dingin yang menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya. Kurasakan balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yang luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa sayangku itu. Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung lidahku, kemudian lehernya. Dia lalu menengok dan dengan hangat diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya. Hujan yang semakin deras melarutkan percumbuan kami.
Ditariknya mulutnya dari mulutku "Yok... tapi nggak usah main ya?". Dengan kelu kuanggukkan kepala. Neva kemudian pindah ke depanku menghadap ke arahku, bra hitam basahnya yang nampak samar di kaos basahnya tepat di hadapanku. Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit indahnya. Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak hitamnya yang mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan). Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut dan Nevapun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yang tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yang begitu ekspresif semakin menyorongkan dadanya ke mulutku. Kedua bukit itu makin keras. Tiba-tiba dengan gerakan yang agak kasar ditariknya kedua dadanya dari mulutku. Neva segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan gerakan yang menagihkan. Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku, ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal. Gelinjang sensasi kenikmatan yang kurasakan membuatnya mempercepat gerakan makan es krimnya. "Ugh... ah...... akhhhhhhhh... Nev.. ahhhhhhh" tak mampu aku berkata apa-apa. Lavaku sudah mendekati puncak dan Neva akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-tiba...
Grung... grung... suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil ngobrol yang tak jelas.
"Mbak.. Mas... bareng aja yuk?" pak lurah yang baik hati itu menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak belakang.
"Nev.. aku pusing!" bisikku. Neva hanya mengangguk sambil jarinya meremas jemariku.
"Yah... memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin, pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh ngerokin nak Iyok." Pak lurah yang baik hati itu dengan polosnya menyahut. Aku dan Nevapun berpandangan dengan senyum antara geli dan kecut.
"Kematian adalah tantangan,
kematian mempertegas kita untuk tida melupakan waktu,
kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga
bahwa.... kita saling mencintai..."
Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua kamarnya (satu untuk Neva dan Santi, sedangkan yang lainnya untuk Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah... teman-teman sereguku itu juga tak kuketahui rimbanya kini...) kini ditempati keponakan pak lurah yang baik hati itu. Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah itu. Bu lurah dengan mata yang masih sembab menyambut kedatanganku dengan keharuan yang mendalam. Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia. Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu ditangannya
"Makanya mas Iyok... mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan mbak Neva nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yang lain. Mereka tadi nunggunya lama lo... mas Made yang ngusulin ninggal. Marah lo dia" sambil sesekali dipijitnya tengkukku. Sambil tersenyum menahan kerokan yang tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi bisa-bisa sampai subuh bu lurah yang masih menyisakan kecantikan masa mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin segera kembali ke pondokanku menyusul Neva yang tapi pura-pura pamit menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku bergegas ke pondokanku.
"Nen.. ini kamarku dulu, dan yang itu kamar Santi dan Neva" waktu kusebut namanya ada kelu yang mnyekat di kerongkonganku. Untunglah keponakan pak lurah segera menyuruh kami minum teh hangat.
"Nev... mau teh hangat?" kuambilkan secangkir teh dari rumah pak lurah, jangan-jangan Neva sakit beneran? Ada rasa cemas yang menyusup saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak.
"Mau dong" sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya. Syukurlah, dia tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah...
"Yok?" bisiknya
"Ya?"
"Selesain yuk?". Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan keinginannya seperti dia.
Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke kamar Neva. Begitu kubuka kamar, Neva ternyata telah menanggalkan seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam, hampir seluruh pakaian dalamnya hitam). Dengan reflek kubuka bajuku segera kutubruk dia. Neva sedikit meronta dan itu membuatku semakin bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa takut ketahuan. Neva segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya. Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan itu begitu khas, aku belum pernah membauinya. Dengan reflek kujilati pinggirannya dan benda kecil yang tampak memerah tegang ditengahnya. Neva mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu. Aku begitu menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau film seperti ini. Semuanya kulakukan dengan reflek naluriku belaka. Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit indahnya yang semakin keras dan mengeras. Kupelintir kedua puncak hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur dengan air itu. Kuhisap lagi. Kedua puncak hitam bukit indahnya semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu, kuremas-remas, kuperas dan...
"aaaaaaaaahhhhh... oh yes... yes. uh...... ahhhh.." panggul Neva dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa. "Oooohhhhh... Yesss!!!!" dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya.. Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas. Segera kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya. Neva semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan puncak yag begitu keras. Ah... aku tak kuasa menahannya lebih lama dan...
Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam. Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan rasa cintaku yang luar biasa.
"Yok... ayo... yok... ah... terus... terus.. oh yesssss!" saat itu kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia...
Saat Santi dan teman-temanku pulang, Neva sudah tertidur kelelahan. Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku menceritakan betapa hebatnya film yg ditonton. Aku hanya pura-pura kesal dengan kebahagiaan yang tak terkira.
"Mas.. pulang yok.. udah sore nih..."
Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan jelas bisikan Neva sesudah mengakhiri permainan kami.
"aku ini badai dan samudera,
hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar.....
betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku
pada tempat ini"
Chapter 3
Telah sebulan KKN selesai. Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Neva. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Bambang dan Panca, teman-teman sekontrakanku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif. Akhirnya aku ceritakan bahwa aku jatuh cinta dengan perempuan itu. Saat kutunjukkan fotonya, Panca begitu terkejut ternyata Neva teman basketnya di tim universitas. "Wah... kamu pinter milih, Yok! Kalo dia aku ya mau juga," jawabnya terkekeh
Aku tahu saat ini pasti Neva sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Panca jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Neva ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke rumahnya yang sangat besar di utara Yogya itu. Tapi mobil Don yang sering nongkrong di depan rumah itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Yok! Entahlah. Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Neva? Dia duduk sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.)
Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yang luarbiasa digabung dengan keperempuanan yang menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming sedikitpun. Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Don!
"Hey.. Yok? sudah lama?" sapanya hangat Aku hanya mengangguk dengan senyum yang pasti begitu aneh. Neva segera bangkit. "Yuk Don pulang... pulang dulu ya Yok!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja. Aku hanya terbengong dan kelu.
Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Bambang menggedor pintu kamarku. "Yok... aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan," pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya.
" Ya... hati-hati... salam buat Tasya!".
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ? "Ngapain Mbang? Ada yang ketinggalan?"
"Ngg... anu Yok ada tamu!"
Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Neva! Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah?
"hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar. Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Bambang yang terburu-buru pergi.
"Mama nyusul Papa ke New York. Don pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di rumah. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di rumahnya yang super besar itu.
"Sampai kapan?" tanyaku sekenanya.
"Tahu! Mungkin sebulan. Kalo mama dan papa sih lima minggu. Soalnya mereka mau ke Eropa sekalian. Nengokin om Jon, adik mama di Paris. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.
Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Neva di rumah kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Neva). Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Neva ketiduran. Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku. Beberapa lilin yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Neva dengan rok terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering memakainya di Malioboro. Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah... pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu "Lady wants to Know" mengalun, Neva memegang tanganku.
"Shall we dance?". Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.
"Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang hatimu..." bisiknya lembut.
Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi kesadaranku. Tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yang purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati bibir kewanitaannya. Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan kubanting ke lantai.
Gedubraaaak!
"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh.. ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat kaku mengeras dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya. Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great... baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku.
"Please Yok... setubuhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku. Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...
"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Panca. Benar, mungkin karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kewanitaannya.
"Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin dalam. Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitannya.
"Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras.
"Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras. Neva semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan.
"Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa... Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta hingga pagi menjelang.
Sudah hampir 2 minggu ini Neva tinggal bersamaku. Selama itu pula erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi seuatu yang biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi, siang dan setiap malam. Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Panca pergi). Panca sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Pancapun hanya menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar. Biasanya Neva masih sempat menggoda Panca dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho Pan?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu demikian indahnya. Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"mau ke mana Nev...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"Mama Papa udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Don pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Don akan marah kalau ke rumah aku nggak ada". Don, lagi-lagi Don!
Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat ini:
"Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Nev!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Neva berteriak kesakitan karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....
Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke rumahnya, tapi hanya pembantunya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya. Nev... aku hanya minta maaf. Di hari wisudanyapun ternyata dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Nevakah? Begitu kubuka ternyata Don. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Don hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, "Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya".
Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Neva!
"Don-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini. Don, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku.... Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Iyok (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Iyok). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya. Tapi ternyata rasa cintanya begitu 'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu.
Don, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Iyok, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku kepadanya... just take care of yourself. Neva."
Aku hanya termangu. Karena itu setiap tahun aku pasti menyempatkan pergi ke hutan karet itu dengan seribu satu alasan ke istriku....
posted by dewa cabul at 11:37 PM 1 comments
Flawed Venus
CHAPTER ONE
Bab I
Surabaya, awal 2000
Aku terbangun dan mendapatkan laki-laki itu sudah berada di sebelahku. Wajahnya yang berwibawa tampak semakin tua dengan kerutan-kerutan yang menghias dahinya. Sekejap perasaan kasihan dan sayang merasuki hatiku, namun kebencian yang mendadak menyusul membuat perasaan itu hilang seketika. Yang kulihat di sebelahku beberapa saat kemudian hanyalah seorang tua yang kotor dan sama sekali tidak berperikemanusiaan. Aku membencinya. Sungguh-sungguh membencinya, sampai aku ingin membunuhnya saat itu juga. Seandainya hati dan tangan ini mampu.
"Kamu baik-baik saja. Maafkan saya."
Maafkan?
Kupandangi setiap gerakan bibirnya saat berucap. Maaf apalagi yang kauharapkan dariku? Kurangkah kepasrahanku selama ini sebagai bukti maafku padamu? Aku tak sanggup memandang matanya. Tidak sekarang. Kupejamkan mataku dan kugigit bibir bawahku. Air mata ini tak boleh keluar sekarang.
Dari balik selimut putih kuraba bekas jahitan di bawah perutku. Inikah yang kau ingin kumaafkan?
Aku memaafkanmu saat menyetubuhiku.
Berulang-ulang, bukan hanya sekali. Sampai adikku meringkuk di rahimku. Adikku. Tidakkah kau sadar itu iblis tua?
Adikku. Siapa lagi?
Yang akhirnya kurasa lebih bernasib mujur karena tak pernah mempunyai kesempatan untuk mencicipi getir kehidupan seperti adanya diriku.
Dan sekarang kamu masih ingin aku memaafkanmu?
Ya, kumaafkan kamu.
Papa.
Bab II
Aku merasakan pandangannya. Aku merasakan air liur yang tertelan di tenggorokannya saat melihat ketelanjanganku.
"Thomas. Keluar."
Aku membenci seringai di wajahnya. Kubalikkan tubuhku dan mengenakan kausku sebelum seringai itu benar-benar membuatku menjerit.
"Kamu melakukan itu dengannya, kan?"
Dan sekarang bisikan itu begitu dekat di telingaku, membuat seluruh bulu di tengkukku berdiri.
"Apa-apaan kamu!"
Kubalikkan tubuhku tapi tangannya sudah menggenggam pergelanganku. Wajahnya menempel di sisi wajahku dan menelusurinya. Dapat kurasakan nafasnya yang berbau alkohol menyapu saraf-saraf pennciumanku.
"Ya. Kan?" dan sekarang ia sudah mendesis di depan bibirku.
Kurenggut tanganku dan kutempeleng wajah adikkku, membuatnya sedikit terhuyung lalu terjatuh. Dan ia hanya tertawa.
"Pelacur."
Thomas menyumpah sebelum meninggalkan kamarku sambil mengelus pipinya yang memerah.
Pelacur.
Memang aku seorang pelacur.
Kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur dan kubenamkan wajahku di bantal. Kubiarkan air mataku mengalir lepas dan membasahi semua yang bisa dibasahi. Kudekatkan cincin emas di jari manisku kebibir dan mengecupnya sambil terisak.
"Aku... kini... seorang pelacur."
*
"Ke mana Thomas?"
"Mboten ngertos, nDoro." Mbok Ijah hanya bisa menunduk-nunduk sambil menatap lewat matanya yang sudah menua. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya padaku dan mencoba mencari sebuah jawaban. Kumasukkan sendok itu kemulutku, masih berusaha menikmati makanan yang mendadak menjadi pahit.
"Aku juga tidak tahu."
Lelaki itu menghela nafasnya dan mengambil lauk atas meja. Jangan berdoa! Jangan pernah!! Orang sepertimu tak layak untuk berdoa. Tapi toh ia melipat tangannya dan bergumam pada Tuhannya.
Bab III
"Lagi?" desahku beberapa saat kemudian. Namun lelaki itu hanya mengeluh dan memejamkan matanya. Sekejap. Tak satupun kata keluar dari bibirnya saat ia mengecup buah dadaku. Bangsat. Sampai kapan kamu melakukan ini?
Lelaki itu mengatupkan telapak tangannya dan meremas buah dadaku. Satu hal yang sudah kuketahui pasti saat itu. Ia masih menginginkannya. Dan sekarang ia sudah mengangkat daster tidurku dan berusaha melepaskan pengait bra-ku. Ah. mungkin aku semakin gila kalau aku terus menikmati hal ini.
Pelacur.
Mungkin aku seorang pelacur, karena ternyata aku mulai menikmati semua sentuhan yang menggetarkan pori-pori di tubuhku. Aku merasakan setiap getaran saat lidahnya menyentuh dan menelusuri kulit leherku, puting payudaraku, perutku. Dan bahkan aku menggelinjang saat jemarinya menari di atas lekukan-lekukan tubuhku. Bekas luka itu. Ia menyentuhnya. Iblis. Untuk apa kamu menangis? Kurasakan dada telanjangku dibasahi oleh air mata yang menetes dari pipinya. Masih ingatkah kamu akan dosa? Tapi kenapa kamu tidak berhenti? Malah sekarang menarik celana dalamku menelusuri paha dan betisku? Sebejat itukah dirimu?
Pelacur.
Mungkin aku seorang pelacur karena ternyata kemaluanku basah di luar kehendakku. Mungkin hanya pelacur yang merasa terangsang tanpa perasaan sedikitpun. Mungkin pula hanya pelacur yang membiarkan tubuh lelaki manapun berkutat di atasnya tanpa ekpresi apapun.
Perut gendutnya menindihku, membuatku semakin susah bernafas, batang penisnya bergerak-gerak di dalamku, menusuk dan menekan, meninggalkan semburat panas dari selangkanganku. Bangsat itu memakai kondom. Dan kesadaran itu membuatku semakin ketakutan. Bukankah ia akan semakin leluasa terhadapku? Dan sekarang ia akan dapat melakukannya tanpa beban resiko yang selalu membayangi.
Dan bahkan kini aku sudah tidak menangis lagi. Kebencian dan rasa muak membuatku seakan lupa untuk menangis. Kupejamkan mataku, kugigit bibir bawahku, menunggu sengatan itu datang menghampiriku dan menjalari saraf-sarafku.
"Ahgg.." Lelaki itu mengerang dan mengejang.
Tak ada semburan yang kurasakan. Namun tetap getaran dan sengatan yang sama.
Aku seorang pelacur.
Karena aku menikmatinya.
Tanpa ekspresi.
*
Kututupi ketelanjanganku dengan selimut. Akhirnya air mata ini keluar juga. Bantal ini mulai terasa lembab. Beberapa saat kemudian kududukkan tubuhku dan mengambil sebuah buku biru kecil dari dalam laci. Kupandangi buku kecil itu dan merasakan air mata kembali menetes di pipiku. Sudah lama sejak terakhir aku menuliskan kata hatiku di buku ini. Batinku ingin membuka dan menuliskan lagi beberapa patah kata. Namun benakku menyadari ketidakhidupannya. Menyadari kekonyolanku, karena aku sekarang bertarung dengan kehidupan, dan sesuatu yang mati takkan menolongku.
Kumasukkan lagi buku itu ke dalam laci setelah menghela nafas dalam-dalam.singgah
Tapi aku tak bertarung sendirian.
Sahabatku dan kekasihku. Kalian hidup dalam hatiku.
Selamanya. Kau dan dia.
Kukecup cincin emas di jari manisku sebelum melangkah menuju kamar mandi. Setidaknya aku harus membersihkan dosa-dosa yang tersisa dari tubuhku.
Sampai kapan?
Entahlah.
Bab IV
Jadi pagi ini terasa begitu indah. Matahari bersinar lembut dan memberikanku nafas baru. Hatiku sedikit lega, karena iblis itu akan pergi seminggu lamanya. Bahkan Mbok Ijah terdengar bersiul-siul dari dapur. Apakah karena hawa setan itu sudah tidak menaungi rumah ini lagi? Memikirkannya membuatku sedikit tersenyum. Ya. Aku harus bisa tersenyum hari ini. Karena pagi ini terasa begitu indah.
Kupandangi orang-orang yang lalu lalang di jalan. Sekejap keinginan untuk bermasyarakat dan kuliah seperti pemudi sebayaku mengusik. Namun aku tidak ingin menghancurkan pagi ini. Jadi kukembangkan senyumku dan berusaha meyakinkan diriku bahwa yang ada di luar istana emas ini adalah sebuah dunia yang mungkin lebih menyakitkan.
*
Kubiarkan air dingin membasuh otak dan hatiku. Kugosokkaan spons itu perlahan di sekujur kulit tubuhku, kunikmati setiap kesegaran yang bisa kurasakan. Dalam pikiranku melayang-layang sosok kekasihku.
Sedang apa kau di sana, Sayang?
Apakah kau sedang bercanda bersama para bidadari?
Bagaimana mungkin kamu tidak menanti kedatanganku?
Aku cemburu. Tapi.....
Apakah engkau yang saat ini ada di sini menemaniku. Dan batang penismukah yang sekarang memenuhi rongga kewanitaanku? Bukan gagang gayung yang keras dan kaku?
"Ahh...." desahan demi desahan keluar dari bibirku.
Hey, sejak kapan aku merusak diriku sendiri? Cepat-cepat kukeluarkan gagang gayung itu sebelum kemaluanku disobeknya. Tapi kenikmatan dan keinginan itu masih ada. Dan alangkah pelacur-nya aku seandainya detik ini aku menginginkan iblis itu menyentuh dan menggagahiku.
Kukeringkan tubuhku dan bergegas melangkah keluar dari kamar mandi. Pori-poriku mengencang saat angin dingin menerpa ketelanjanganku. Dingin yang menyegarkan dan menyapu sebagian dari hasrat yang berkecamuk.l
"Mengapa begini sunyi? Ke mana Mbok Ijah? Belanja?"
Kusisiri helai demi helai rambut yang menghiasi kepalaku di depan kaca sambil mengagumi diriku sendiri. Alangkah cantiknya aku. Dan alangkah kotornya aku.
Tertawa sinis adalah pujian terbaik yang bisa kuberikan pada diriku sendiri akhir-akhir ini. Kututupi tubuhku dengan pakaian seadanya, membiarkan payudaraku tanpa bra, karena keinginan dan hasrat itu masih ada. Dan aku merasa seksi dengan sehelai kain menutupi tubuhku. Kupandangi lagi diriku di depan cermin, menikmati puting susu yang terbayang dari balik kaus tipis yang kukenakan.
Alangkah seksinya aku. Dan aku tertawa sinis. Lagi.
"Bikin puding," desisku setelah puas mencemooh diriku.
Kesibukan mungkin perlu di pagi yang indah ini.
Kubuka pintu kamar.
Dan tangan-tangan itu merenggutku dengan kasar.
Bab V
"Jadi ini dianya."
Kedua lengan itu mendorong tubuhku dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. "Siapa kamu!" dan histeriaku justru membuat lelaki itu tersenyum. Matanya yang menyipit menatapku dan lidahnya menjilat sedikit air liur yang menetes ke dagunya.
"Luar biasa cantiknya. Sungguh luar biasa."
Dan apakah itu menjadi alasanmu untuk menamparku dan merenggut kaus yanng menutupi tubuhku??
"Jangan...."
Tapi apakah ia akan merasa iba lalu mendadak memelukku dan menangis bersamaku? Tentu tidak setelah melihat ketelanjanganku. Tangannya bergerak dan giginya yang dingin menyentuh kulit buah dadaku. Lututnya menekan kakiku, tubuhnya terasa begitu berat, sehingga setiap rontaanku terasa begitu sia-sia.
"Tolong. Jangan lakukan ini."
Tangisan itupun terasa begitu percuma saat mulutnya menghisap puting payudaraku dan memberikan rasa perih di dadaku. Tangannya menahan kedua lenganku di atas kepala. Dengan kasar lelaki itu menyusupkan jemarinya ke balik celana pendekku dan menekan kemaluanku, membuatnya basah tanpa kehendakku.
"Ya Tuhan, kamu benar-benar menikmatinya."
Lelaki itu merenggut pula sisa-sisa penutup ketelanjanganku, jemarinya menusuk dan memainkan liang kemaluanku, membuatku merintih dan menggelinjang.
Siapapun di atas sana. Ijinkan aku melalui semua ini.
Dan segalanya menjadi gelap.
*
"Kondom...."
"Ayo...hati-hati...."
"Cepaaat...aku....."
Gumam demi gumam menyusup di telingaku. Tanganku begitu tak berdaya dengan tali-tali ini. Dan pantatku terasa empuk dengan bantal yang menyangganya. Empuk dan sakit, saat penis-penis itu bergerak-gerak memenuhi kewanitaanku. Satu dan lainnya. Silih berganti. Begitu cepat. Begitu menyakitkan.
Gelap dan terang silih berganti.
Gigitan dan jilatan, cakaran dan remasan. Erangan dan rintihan kenikmatan. Juga gelap dan terang.
Silih berganti.
Tolong aku.
Siapapun.
*
"Hutang?" desisku sambil meraba pergelangan tangaku yang memerah. Mungkin apabila aku tidak setegang tadi, aku bisa melepaskan tali-tali ini dengan mudah. Tapi orang-orang itu sudah pergi. Tentu saja setelah mereka merasa puas dan bosan.
Kurasa pagi ini tidak seindah yang kubayangkan. Tidak dengan kondom-kondom yang berserakan di lantai. Tidak dengan seprei yang basah di bawahku. Tidak dengan sperma yang mengering di bekas luka di perutku.
Kuhampiri tubuh yang meringkuk di sudut kamar.
Kubelai rambut adikku dengan jemariku, mengharapkannya untuk sejenak sadar dari khayalannya dan memeluk tubuhku.
"Ah, Thomas. Apa yang sudah kaulakukan?"
Kududukkan tubuhku di sebelahnya dan mendekapnya dalam dadaku. Aku masih ingat tangisnya saat jatuh dari pohon, saat anak-anak desa mempermainkannya. Dan saat-saat itu aku selalu ada dan memeluknya. Memberikannya perlindungan sejauh apa yang bisa kuberikan padanya. Dan kini.
Lindungi aku, Thomas.
Jangan siksa aku. Jangan lagi.
Dan kubiarkan diriku terlelap memeluknya.
Adikku yang sangat kusayangi. Satu-satunya.
Bab VI
Salah jika aku harus merasa aman. Salah jika aku merasa mereka puas setelah mencicipi tubuhku. Mereka datang lagi. Setelah adikku memutuskan untuk menebus obatnya dengan tubuh kakaknya.
"Jangan kembali lagi," desisku lirih sambil memejamkan mata.
"Tentu saja. Kalau sudah lunas."
Seringainya membuatku mual. Lelaki terakhir itu mengecup puting payudaraku sebelum mengangkat tindihan tubuhnya dan melangkah keluar tanpa mengenakan sehelai benangpun di telanjangnya.
Kupandang langit-langit kamar beberapa saat lamanya. Segala kejadian melintas di benakku. Begitu cepat. Aku menikmatinya juga. Karena aku seorang pelacur. Pelacur jelita yang begitu memuaskan.
Kuraih buku kecil itu dari dalam laci dan melangkah menuju cermin. Kubiarkan tubuhku meliuk dan kusibakkan rambutku yang basah oleh keringat. Aku seperti seorang artis telenovela perayu yang sering kusaksikan di TV.
Dan aku kembali mengagumi sosok di dalam cermin.
Gila kamu, umpatku kagum. Masih bertahan.
Tentu saja. Karena kamu seorang pelacur. Kamu menikmatinya.
Demi segala sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.
Kubiarkan kepalsuan itu hilang seiring air mata yang mengalir di pipiku. Ini bukan tangisan, sebab tiada isak yang keluar dari bibirku. Tanpa ekspresi lain selain senyuman sinis.
Kupeluk buku kecil itu di dadaku dan kukecup cincin emas di jari manisku. Lembut penuh perasaan. Kupejamkan mataku.
CHAPTER TWO
Bab I
"Kamu menginginkannya bukan, Thomas?"
Mata pemuda itu memandangku dengan matanya yang nanar. Mungkin pertanyaan-pertanyaan yang menerpa batinnya tidak seindah yang kubayangkan. Barangkali bukan "mengapa" atau "tak mungkin", barangkali justru "akhirnya" atau "tentu saja". Yang pasti ia sekarang tertegun dan mendelik menatap tubuhku yang hanya terbalut lingerie tipis.
Jadi kudekati dia dan kutempelkan payudaraku di dagunya. Kuangkat wajahnya, membiarkan nafasnya memburu dan matanya yang nanar semakin lebar. Kutepis lengannya yang terangkat ke sisi tubuhku. Belum saatnya, adikku sayang.
"Katakan kamu menginginkannya."
"Aku...aku...."
Kukecup bibirnya, memainkan rongga mulutnya dengan gerakan lidahku. Ia menikmatinya, matanya terpejam. Kutepis lagi lengannya yang terangkat. "Berjanjilah padaku, Thomas."
Kupegang rahangnya dan menatapkan matanya ke mataku. Kusapu wajahnya dengan hembusan nafasku. Mempesona.
"Jangan ada lagi orang lain selain kita."
Kudesahkan kata-kata itu di depan bibirnya.
"Ya."
Dan kata itu cukup untuk membuatku membiarkan kedua lengannya merangkul pinggangku dan membaringkanku ke atas tempat tidur.
*
"Thomas sayang, jangan menangis."
"Tapi mereka memukuliku."
"Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi."
Anak kecil itu menangis dalam dekapanku.
Lemah dan tak berdaya. Dan kulindungi dia dengan jiwa ragaku.
*
Dan kini batinku merintih saat batang penisnya memenuhi liang kewanitaanku. Kubiarkan tubuhnya menggeliat dan bibirnya menjilati sekujur tubuhku. Ah adikku sayang, berapa banyakkah pengalamanmu dengan wanita? Nol besar.
Dan bahkan aku masih sempat bergurau.
"Jangan di dalam."
Pemuda itu menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Mengherankan, mengapa seseorang yang begitu terpengaruh obat-obatan masih mempunyai sepercik rasa sadar?
Ah, sudahlah. Enjoy the trip.
Bab II
Empat hari sudah iblis itu tak pulang ke rumah. Dengan berbagai alasan, akhirnya aku berhasil mengusir pembantu tua itu keluar dari rumahku. Dan kini tak ada lagi orang lain. Selain aku dan adikku, kekasihku yang kusayangi. Dan aku tak ingin repot-repot memasak, karena itu bukan keahlianku. Kuputuskan untuk lebih sering memesan makanan lewat telepon, lagipula tidak seberapa jauh dibandingkan dengan masakan Mbok Ijah.
Thomas sudah jarang keluar. Setidaknya apa yang kutawarkan padanya diterimanya dengan sepenuh hati. Ah. Mungkin kami sama-sama bejatnya. Tapi aku tak memusingkan hal itu lagi.
Bukankah aku memang sudah tak lagi memiliki perasaan untuk menilai.
Kuajarkan pada Thomas bagaimana cara menggunakan kondom.
Aku tak mau meminum pil KB, karena aku tak ingin tubuh indahku menjadi rusak karenanya. Thomas merasa girang dengan pelajarannya yang baru, dan aku bersyukur karena pelajaran demi pelajaran seolah membuatnya sedikit lupa dengan obat-obatannya.
Dan sejak semula sudah kusadari, segalanya takkan semudah itu.
*
"Pergi kalian!!"
Lelaki-lelaki itu memandang pisau di tanganku dan tertawa bersamaan. Salah seorang dari mereka menjilat bibirnya dan menatapku penuh nafsu. "Jangan, ah. Mending kita pergi bobok."
"Bangsat!" kuayunkan pisau itu dan membuat mereka mundur selangkah.
"Aku sudah memanggil polisi."
Lelaki yang paling belakang mendengus.
"Awas kalian. Tunggu, Thomas."
Kututup pintu rapat-rapat begitu mereka melangkah keluar. Kubalikkan tubuhku dan melangkah menghampiri sosok yang meringkuk di sudut ruangan. Kubuka lipatan lengannya dan menatap sedih kearah matanya yang lebam dan bibirnya yang berdarah.
"Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi."
Dan kudekap kepala yang bergetar itu di dadaku.
Ah, adikku sayang. Kekasihku sayang.
Sama seperti dulu.
Aku masih melindungimu.
Kukecup ubun-ubun kepalanya dan tanpa terasa akupun ikut menangis.
Bab III
Pemuda itu tak menyentuhku lagi setelah kejadian tiga hari yang lalu. Dan itu sangat melegakanku. Mungkin benar bahwa lecutan yang menyakitkan mampu membawa cahaya kembali dari kegelapannya.
Thomas lebih sering menemaniku melalui hari-hariku dengan membiarkan kepalaku di dekapannya. Sebagaimana seharusnya seorang saudara laki-laki terhadap kakak perempuannya.
Di saat-saat itu kusadari, bahwa akupun tidak sekuat yang kuduga.
Thomas berjanji takkan memakai obat-obatan. Dan itu berarti sebuah kemungkinan bahwa ia takkan berurusan dengan orang-orang jahat itu lagi. Aku senang. Walaupun akhirnya aku jadi sering bermasturbasi di kamar mandi daripada melakukan hubungan riil dengan seorang lelaki.
Aku cukup bahagia dengan situasi ini. Dan aku tak ingin ada yang merubahnya.
Tidak bahkan iblis yang menampakkan dirinya kembali.
Hari itu.
*
"Kemana Ijah?"
"Pulang. Sudah bosan, katanya."
Kuletakkan piranti makan itu di atas meja.
"Hey," lelaki itu menepuk punggung Thomas, "tidak biasanya sang pangeran sudah ada di rumah."
Dan yang ditepuk hanya menyeringai sambil melirik ke arahku.
"Makan, Pa."
Lelaki itu tertawa dan menyendok makanannya. Mungkin ia merasa bahwa aku yang memasaknya. Yah, sudahlah. Mana ia pernah tahu apa kesibukanku selama kepergiannya.
*
Jangan! Jangan lihat kemari!
Kugerakkan tanganku mengusir. Namun Thomas tetap berdiri di ambang pintu. Tubuh lelaki itu semakin liar di atasku, mulutnya mendesahkan kata-kata kerinduan yang luar biasa menyakitkan. Tangannya bergerak-gerak di sekujur tubuhku, pinggulnya bergerak naik turun, menghujam liang kewanitaanku dengan penisnya yang menegang. Air mata keluar dari mataku.
Jangan lihat ke sini, Thomas.
Kupandangi wajahnya yang tertutup bayang kegelapan.
Apa yang akan dilakukannya. Jangan, sayang. Pergi dari sini.
Lelaki itu semakin liar, gerakannya jauh lebih kasar dari yang sudah-sudah. Kurasakan mataku terpejam dan bibirku tergigit.
"Ahh..ahk.." lelaki itu mengerang tidak jelas.
Kedua lengannya membalikkan tubuhku dan batang penisnya memasuki liang kemaluanku dari belakang. Kuusahakan untuk melirik sekali lagi ke arah pintu. Dan ia masih di sana. Memandang tanpa berkedip.
Pergi! Jangan lihat aku!! Pergi!!!
Isakan keluar dari mulutku.
Lelaki itu menegang, menggigit pundakku dan menyemburkan spermanya di liang kemaluanku. Tanpa kondom. Tidak. Tidak lagi.
Kubuka mataku, dan Thomas sudah tidak di sana lagi.
Kubiarkan lelaki itu menindih tubuhku dan terengah di atasku.
Bab IV
"Aku akan membunuhnya."
"Jangan!"
Kupegang lengannya dan menariknya dalam pekukanku.
"Jangan lakukan apapun."
Kulihat bahunya berguncang. Dan kubiarkan adik kecilku menangis di dadaku.
"Maafkan aku, Kak."
Bahkan sudah sejak dulu kau kumaafkan, adikku sayang.
Tak berapa lama kemudian, kurasakan nafasnya mulai tenang, dan kubelai rambutnya saat kusadari bahwa ia sudah tertidur.
*
Namun sejak saat itu kusadari setiap hawa kematian yang memancar dari matanya saat menatap laki-laki itu. Sebenarnya aku inginkan hal yang sama dengannya. Untuk mengakhiri ini semua. Namun aku tak sanggup. Tangan dan hati ini melarangku. Walau bagaimanapun merekalah keluargaku yang tersisa. Sejak mama mulai jarang menghubungi kami. Dan aku selalu berusaha keras meyakinkan Thomas untuk tidak melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bisa menghancurkan sisa-sisa ini. Mungkin itu suatu hal yang salah menurut orang-orang lain. Tapi bagiku, yang terpenting adalah bagaimana aku bisa mempertahankan dan memperbaiki segala sesuatu yang tertinggal di hidupku.
Karena aku telah banyak kehilangan.
*
"Kamu keluar saja malam ini. Tapi jangan nge-drugs. Cari gadis yang bisa kamu kencani. Karena kamu tampan dan gagah. Karena kamu adikku yang pasti takkan gagal."
Kubetulkan kerah kemejanya dan memandang wajahnya yang tampan sambil tersenyum. Pemuda itu mengusap air yang menitik di ujung matanya.
"Kakak begitu baik."
Aku baik? Hahahaha. Ironis sekali untuk seorang pelacur.
"Tidak juga," senyumku sambil mengecup dagunya.
"Dia. Dia akan melakukannya lagi?"
Sudah pasti.
"Sudahlah, nanti kamu terlambat pergi ke pesta."
Thomas berbalik, namun ia menoleh kembali dan menggapai lenganku. "Kakak ikut."
"Hush. Jangan seperti anak kecil."
Thomas mengerenyitkan alisnya, lalu mengecup bibirku.
Kali ini tanpa nafsu yang membayang di matanya.
Hanya seberkas kasih sayang dalam getaran bibirnya.
"Aku sayang kamu."
"Aku juga."
Sejak kapan aku terakhir mengatakan sayang yang begini tulusnya.
Ah. Steve. Sudah lama sekali bukan?
Kugigiti cincin di jari manisku saat adikku melangkah keluar.
*
Kuangkat lengan lelaki itu dari tubuhku dan melangkah keluar untuk menyambut adikku. Kulihat jam dan sedikit heran karena baru pukul setengah sebelas. Pikiranku berkecamuk. Sebuah perasaan aneh menyelinap ke sel-sel otakku, membuatku merinding dan meremang saat melalui koridor menuju ke ruang tamu. Suara-suara mengiang memperingatkan.
Jangan buka pintu itu!
Jangan buka pintu itu!
Bab V
"Sudah lama sekali, D."
Kupeluk tubuh itu dan kubenamkan kepalaku di dadanya. Kubiarkan air mata dan isak tangis yang selama ini kutahan lepas begitu saja. Tangannya memelukku dan membelai rambutku.
Alangkah indahnya.
Bibirnya mengecup ubun-ubun kepalaku dan telapak tangannya menepuk punggungku seperti seorang ibu mendiamkan anaknya.
"I miss you. So much."
"Sshh. Aku di sini untukmu."
Kuangkat kepalaku dan tersenyum menatapnya. Kuangkat lenganku dan menunjukkan cincin di jari manisku kepadanya.
"Lihat! Bahkan cincin ini masih ada di sini."
Pemuda tampan itu tertawa dan kulihat air mata mengalir di pipinya.
"Aku tahu. Aku tahu."
Steve memeluk tubuhku hangat dan mencium bibirku. Kulumat seakan tak ingin melepasnya pergi dari sisiku.
"Steve...ahh...."
Kudesah nafasku saat jemarinya membuka jubah putih yang kukenakan. Kurasakan dada telanjangnya menempel di kulitku. Aku menikmatinya. Sungguh-sungguh menikmatinya. Dan kuangkat kakiku di sisi pingangnya, membiarkan bibirnya menelusuri leherku dan membasahinya.
"Aku merindukanmu, Steve."
Erangan dan rintihan keluar dari bibirku saat kurasakan batang penis yang menegang itu memenuhi liang kemaluanku. Tangannya menahan punggungku untuk tetap berdiri. Pinggulnya bergerak dan memainkan hasratku yang semakin menggila.
Lengannya membaringkanku di atas rerumputan. Bibirnya mencumbuku dan merayu tanpa kata-kata, kurasakan dengusan dan helaan nafasnya di pori-pori kulitku. Penetrasinya membuatku semakin liar dan terbang bersama sentakan-sentakan tubuhku.
"Do you still love me..."
Kudesahkan pertanyaan itu di sisi kepalanya yang menempel di payudaraku. Steve mengangkat kepalanya dan tersenyum, sejenak meninggalkan protesku atas gerakannya yang terhenti.
"Selamanya, D. Selamanya."
Dan kukecup bibirnya mesra.
Tubuh pemuda itu bergerak di atasku, membuatku semakin terengah dan berkeringat. Dan kenikmatan ini seakan tiada habis-habisnya, membuatku mengejang dan mengejang. Berulang-ulang tanpa henti. Dan segalanya menjadi gelap seiring hentakan tubuh pemuda yang kusayangi.
"Steve?"
Namun semuanya terasa begitu gelap.
Gelap sekali.
Dan aku kembali sendiri di ruangan tanpa batas.
*
"Bertahan, D. Sedikit lagi."
Orang-orang berjubah putih itu. Thomas? Pergi, Sayang! Mereka mencarimu!~~"Hon...
Plafon-plafon yang memutih di atas mataku.
Rasa perih di punggung dan selangkanganku.
Mana Papa?
"Siapa yang berbuat ini....."
"Bangsat-bangsat itu......"
"Ini sekarang urusan kami....mohon...."
Steve? Di mana kamu, Sayang?
Bab VI
Surabaya, awal 2001
Angin berhembus lembut menyibak rambutku. Kulirikkan mataku pada pemuda yang berdiri di sebelahku. Kerutan di wajahnya membuatnya semakin mirip dengan iblis itu sendiri. Namun satu hal yang membedakan, yang berdiri di sini adalah malaikatku.
"Sudah, D?"
Kugerakkan bola mataku, dan memandang untuk yang terakhir kalinya ke arah nisan di hadapanku.
Ah, semuanya berakhir sungguh jauh dari dugaanku.
Untungnya polisi-polisi masih sigap untuk menangkap bangsat-bangsat itu. Yah, setidaknya bangsat-bangsat pengedar narkoba itu berhasil menyelesaikan permasalahanku. Walaupun untuk itu aku harus rela melepaskan kebebasanku sebagai seorang mahluk hidup normal dengan luka di tulang punggung yang melumpuhkanku.
Selamat tingal, Pa.
Semua sudah beres sekarang.
Thomas mengusap air mata yang mengalir lagi di pipiku.
Kurasakan kursi roda yang kunaiki bergerak menjauh.
Ya. Aku ingin menjauh dari segalanya ini.
Kulihat mama bersama Oom Frans menunggu di kejauhan.
Seandainya aku bisa menghambur ke pelukannya, dan mengatakan betapa girangnya aku untuk kembali berkumpul bersama dan berkeluarga. Aku perlu banyak penyesuaian dengan Oom Frans, begitu pula Thomas. Namun kurasa itu suatu hal yang ringan, karena pandangan mata Oom Frans jauh berbeda dari pandangan iblis itu. Ah. Maafkan aku, Pa. Mungkin aku masih terlalu trauma untuk memanggilmu Papa.
Enjoy the hell, Dad.
Kulirik cincin emas yang melingkar di jari manisku.
I will survive just for him.
Wait for me, Steve.
Sagabor, I love you.
Dan kenyataan kisah ini tersimpan dalam diri dua anak manusia. Aku dan adikku Thomas. Aku percaya bahwa suatu hari nanti akan ada seseorang yang memperbaiki sisi-sisi terkoyak dalam kehidupan kami.
Seandainya Tuhan memang ada.
Biarlah Ia yang mengurus sisanya.
***
"Let's put an end to this, shall we?"
I can feel nothing
But the pleasure inside
I can cry no more
`cause I enjoyed it
Then it's just something
(they called it `LOVE')
Pushing the `must go on' ride
The ride that'll never go ashore
And makes everything all right
So I'm just a simple being
With pains masked the otherside
Truly I'm a whore
`cause I enjoyed it
Oh well, it was Me anyway
Goodbye for now
I have a life to go on
Do you?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar